KETIKA pertama kali terbit, 22 tahun silam, koran ini beken dengan nama Radar Banjar. Tanpa imbuhan Masin.
Mulanya Radar Banjar hanya suplemen koran Jawa Pos. Terbit delapan halaman, dikawal sembilan wartawan.
Sedangkan kru percetakan diboyong dari Kaltim Pos. Boleh dikata, surat kabar terbesar di Balikpapan itulah induk semang kami.
Ketika Gedung Biru di Jalan Ahmad Yani km 26,9 Landasan Ulin belum rampung dibangun, Radar Banjar sudah terbit.
Digarap dari sebuah rumah sewaan di tepi jalan Kayu Tangi, Banjarmasin Utara.
Dapur redaksi alias kantor biro itu dikepalai wartawan senior Haji Asmuni. Sedangkan pemimpin redaksinya adalah Erwin D Nugroho.
“Saya kala itu tidur hanya empat jam sehari. Datang ke rumah sudah tengah malam, dini hari sudah ngurusi cetak dan pemasaran. Siangnya lanjut lagi mencari berita,” kenang Pak As yang sudah pensiun 2018 lalu.
Masyarakat Banua rupanya merespons positif kehadiran Radar Banjar. Buktinya, hanya dalam waktu tiga bulan, penjualan Jawa Pos di Kalsel melonjak naik.
Melihat itu, sejak 2002, Radar Banjar diizinkan terbit sendiri. Menanggalkan status koran sisipan.
Beberapa waktu kemudian, CEO Jawa Pos kala itu, Dahlan Iskan mampir ke Banjarmasin.
“Kenapa tak dilengkapi saja, Banjar menjadi Banjarmasin,” pesannya. Alasannya, Banjar adalah nama suku. Sedangkan Banjarmasin adalah nama kota. Sebuah tempat.
Karena bos sudah bicara begitu, semua sepakat. Koran ini pun bertasmiyah.
Peninggalan dari masa itu masih bisa Anda saksikan sampai sekarang. Di kantor pusat kami di Banjarbaru, plang Radar Banjar tetap dipertahankan. (tri/mof/gr/fud)