ORANG Martapura mengenal tradisi Bapalas Bidan. Ritual ini dilaksanakan setelah kelahiran seorang anak. Niatnya, keluarga membalas jasa seorang bidan yang telah menolong persalinan.
“Upacara syukurannya digelar sekitar tujuh hari setelah sang ibu melahirkan anaknya. Setelah tali pusat si anak telah terputus,” kata Muhammad Noval.
Sebagai Wakil IV Nanang Kabupaten Banjar, ia meneliti dan mendalami budaya di sekitar masyarakat Martapura. “Sewaktu saya lahir, orang tua saya juga melakukannya,” ungkapnya.
Tentu tak hanya ditujukan kepada si bidan. Bapalas Bidan juga merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah.
Sebab si ibu telah melahirkan anaknya dengan selamat, sehat dan tanpa cacat. Namun, Noval melihat ada perbedaan antar daerah.
Di suatu daerah, seorang bidan akan dilimpahi hadiah berupa beras, ayam, sebiji kelapa, rempah, dan bahan menginang atau menyirih.
“Tapi kalau saya dulu memberi bidannya dengan pakaian, tapih (sarung), dan uang. Hadiah kepada bidan ini dikenal juga dengan sebutan piduduk,” jelasnya.
Menurut kepercayaan masyarakat yang ia kutip, sebelum Bapalas Bidan, anak yang dilahirkan masih menjadi milik bidan.
“Dengan Bapalas Bidan, artinya mereka telah ‘menebus’ bayi dari tangan bidan,” ujarnya.
“Memang tradisi ini tak hanya dikenal di tanah Banjar,” ujarnya. Sebab prosesi serupa juga dikenal oleh masyarakat Dayak Meratus.
Diakuinya, ritual ini memang berasal dari tradisi sebelum kedatangan Islam. Namun, sewaktu terjadi Islamisasi, tradisi ini tidak lantas dilarang.
Namun, kebiasaan yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam, sedikit demi sedikit ditinggalkan.
“Perbedaannya dahulu menggunakan mantra-mantra. Setelah Islam datang, disisipkan dengan bacaan Al-Quran dan selawat nabi,” pungkasnya. (dza/gr/fud)