Pada malam hari, terjadi penyerangan. Orang Biaju turun ke Muara Cerucuk. Menyerang pedagang Inggris.
Mereka bersembunyi di kapal dengan senjata lengkap. Dalam penyerangan itu, dua kapal armada Inggris dibakar. “Seorang pria bernama Hoogh Chamber yang berusaha kabur dari penyerangan itu juga ikut terbakar,” tutur Mansyur.
Penyerangan itu harus dipandang dalam konteks perebutan akses perdagangan lada yang berpusat di Pulau Tatas, pusat kota Banjarmasin sekarang.

Saat itu, Bernard te Lintelo (1752-1757) bertindak sebagai pemimpin Belanda yang dilanjutkan R Ringholm (1757-1764).
“Menurut cerita turun temurun yang dikumpulkan Idwar Saleh, bangkai kapal Inggris itu akhirnya tertutupi sedimentasi Sungai Barito,” tekan Mansyur.
Bangkai kapal lambat laun ditumpuki lumpur sungai hingga menjadi delta. Inilah yang kemudian disebut Pulau Kembang.
Dari situ muncul berbagai tafsir. Versi pertama mengatakan, tanah yang muncul di permukaan sungai itu mengambang atau meluap hingga Pulau Kembang juga dinamai Pulau Maluap.
Versi kedua, setelah pulau muncul ke permukaan air, ia tumbuh menjadi hutan dan habitat kera.
Warga desa di sekitar Pulau Kembang menganggap bahwa para kera merupakan jelmaan makhluk gaib yang mengenakan sarungan (jubah) kera. Kelompok itu dipimpin oleh kera bertubuh besar bernama Si Anggur.
Dalam praktiknya, pulau ini kerap didatangi orang-orang yang membawakan sesajen berupa pisang, telur, dan nasi ketan.