BANJARMASIN – Banjarmasin berjuluk Kota Seribu Sungai. Sungai-sungai yang mengalir sejak dulu memang menawan. Tenang. Riak-riak airnya seakan menawarkan kedamaian.
Jukung dan perahu dagang pun hilir mudik. Tapi jangan salah, air sungai yang mengalir tenang, ternyata bersembunyi sosok monster menakutkan.
Kemunculannya dapat menimbulkan bencana. Bahkan, membuat warga Banjarmasin di sekitar sungai waswas. Kehidupan sungai yang tadinya tenang, bila ada yang melihat penampakannya akan berubah menjadi mencekam.

Setidaknya itulah yang terekam dalam beberapa catatan orang-orang Belanda yang pernah berdiam di Banjarmasin sejak 160 tahun lalu. Antara tahun 1858 hingga tahun 1940-an.
Monster air itu adalah buaya. Buaya memang dikenal sebagai predator yang sangat ganas. Pemilik rahang terkuat di sungai. Tercatat sejak tahun 1858, gangguan buaya sungai di Banjarmasin dan sekitarnya sangat mematikan.
Wajar bila Boomgard, salah seorang professor sejarah dan ekonomi Asia Tenggara menuliskan bahwa buaya menjadi penyebab kecelakaan yang sering mematikan di Borneo bagian Selatan (Kalsel). Buaya kerap memangsa manusia, ternak, hingga hewan peliharaan.
Sejarawan Kalsel, Mansyur menjelaskan wabah buaya ini sempat memusingkan Pemerintah Hindia Belanda di Banjarmasin. Bagaimana cara mengatasi persoalan ini? Pada tahun 1858, Pemerintah Hindia Belanda mulai memberlakukan premi. Semacam hadiah untuk orang yang bisa menangkap dan membunuh buaya, serta menyerahkan telur buaya untuk dimusnahkan.
“Sayangnya, program “pemberian hadiah” ini tidak sukses. Hanya sedikit orang yang memburu hadiah dibalik penangkapan buaya. Buaya dianggap sakral oleh masyarakat Banjar maupun masyarakat Dayak,” katanya.