DI BINUANG, Kabupaten Tapin, ada seorang penjual sambal tenar. Iyang Sambal namanya.
Legendaris, karena sambal ini sudah bertahan hampir tiga dekade.
Saking terkenalnya, bukan hanya masyarakat Tapin yang menggemarinya. Pembeli bahkan memesan dari Kalteng dan Kaltim.

Iyang Sambal diproduksi dari rumah pemiliknya di Desa Binuang.
Jenama ini milik Jumbrah. Perempuan ini sudah mengolah sambal untuk dijual sejak 1996. Awalnya karena himpitan ekonomi.
“Dulu karena faktor ekonomi, kami tidak punya usaha apa-apa. Hingga belajar sendiri menciptakan beraneka sambal untuk dijual di Pasar Binuang,” kenangnya.
Apalagi di sana mudah sekali memperoleh rempah seperti cengkeh, lada, kunyit, lengkuas dan jahe.
Ketika orang-orang mulai berpindah ke kompor gas, perempuan 53 tahun ini bertahan dengan kayu bakar.
Pertama, lebih ekonomis. Kedua, panasnya lebih merata. Membuat sambalnya lebih sedap. “Jadi dari awal hingga sekarang, hanya memakai dapur kayu,” sebutnya.
Pembuatan sambal memakan waktu kurang lebih tiga jam. Subuh mulai dikerjakan, agar tak kesiangan dibawa ke pasar.
Satu wajan besar cukup untuk menghasilkan 100 kilogram sambal.
“Pertama cuma membuat tiga jenis sambal. Sekarang sudah ada 10 jenis,” ujarnya.
Sambal Jumbrah bisa bertahan sampai sebulan, asalkan disimpan dalam kulkas. Tetapi kalau di luar, hanya bertahan selama sepekan. “Kami berani jamin tanpa bahan pengawet apapun,” tegasnya.
Per kilogram dijual Rp60 ribu. Saat Haul Guru Sekumpul tiba, ibu empat anak ini kerap kebanjiran pesanan.
Jumbrah sampai harus memasak 100 kilogram lebih. “Memang saban haul selalu banyak yang memesan,” pungklasnya. (dly/gr/fud)