SEMUA warga Banjarmasin pasti tahu Hotel Batung Batulis di Jalan Sudirman, seberang Sungai Martapura.
Mundur ke masa lalu, sebelum menjadi tempat penginapan, di situ berdiri Balai Wartawan.
Namun, rupa aslinya hanya bisa dilihat dari foto hitam putih. Sebab bangunannya sudah lama diruntuhkan.
Dosen sejarah Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur mengatakan, warga kota kerap mengunjungi perpustakaan di sana. Lokasi perpus itu sekarang menjadi rumah makan Wong Solo.
Dari foto yang ada, tampak perpus itu punya arsitektur yang bagus. Terasnya melingkar, pintunya serong ke arah jembatan Masjid Sabilal Muhtadin. Dindingnya kaca-kaca besar, hingga rak bukunya dilimpahi cahaya.

Di sinilah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Banjarmasin berkantor. Belakangan, berganti nama menjadi PWI Kalimantan Selatan.
Hingga pada 1992, PWI pindah ke gedung baru di Jalan AS Musyaffa Nomor 4.
Pembangunan balai ini berkelindan dengan sejarah pendirian PWI pasca proklamasi kemerdekaan.
Mansyur menuturkan, situasi Jakarta memanas karena pendaratan tentara Sekutu-NICA. Hingga pemerintah yang masih muda itu eksodus ke Jogja. Sejumlah wartawan republiken ikut pindah.
Mereka berhadapan dengan media-media pro Belanda. Melancarkan perang kata-kata.
Pada tanggal 9 dan 10 Februari 1946, digelar kongres wartawan pertama di Yogyakarta. Hadir para penerbit, pemimpin redaksi, penyiar radio, dan pegawai jawatan penerangan. Hingga diputuskan untuk mendirikan organisasi profesi bernama PWI.
Dua tahun berselang, pada 1948 terbentuk PWI Kring Banjarmasin.
“Hampir semua anggota kepengurusan pertama adalah anggota redaksi harian Kalimantan Berdjoang,” ujarnya kepada Radar Banjarmasin, kemarin (8/2).
Ketuanya adalah Zafry Zamzam, sekretarisnya adalah Arthum Artha.
Penting diingat, di Banjarmasin saat itu berdiri tiga media besar: Soeara Kalimantan, Kalimantan Berdjoeang dan Borneo Post.
Jika dua media pertama berhaluan nasionalis, yang terakhir diawasi Residentie Voorlichtingen Dienst Zuider en Ooster Afdeling van Borneo alias beraliansi dengan pemerintah Hindia Belanda.
Tahun 1950, Zafry Zamzam mengundurkan diri karena diangkat sebagai pegawai negeri. Ia menjabat Kepala Jawatan Penerangan yang berkedudukan di Kandangan.
Pada era ketua PWI ketiga, dijabat Arsyad Manan pada periode 1954-1958, dicetuskan rencana pembangunan Balai Wartawan.
Sekitar tahun 1957 atau 1958, batu pertama Balai Wartawan diletakkan bersamaan dimulainya pembangunan Balai Kota.
Proyek ini dimodali Gubernur Milono dan Wali Kota Aidan Sinaga.
“Semenjak itu gedung ini selalu dipakai dalam setiap pelantikan pengurus PWI,” kata Mansyur.
Sekitar tahun 1966 sampai 1970, gedung ini pernah menjadi markas Badan Aksi Seniman dan Mahasiswa Kontra Revolusioner.
Kelompok ini aktif dalam aksi penggerebekan dan penangkapan gembong CGMI, Lekra, dan organisasi lain yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada tahun 1975, di sini juga berdiri Perpustakaan Kotamadya. “Dikelola oleh Siti Jainur. Tak lama digantikan Muhammad Jakaria Sabran,” tutup Mansyur.
Sekarang, berdiri penggantinya, Gedung Wartawan di Benua Anyar, Banjarmasin Timur.
Selamat Hari Pers Nasional
Syamsuddin Hasan, 75 tahun, mengenang Balai Wartawan dengan sendu. “Tahun 80-an saya ikut tes anggota PWI di sana,” kata wartawan senior Antara itu.
“Para wartawan sering kumpul di sana, membahas isu-isu daerah yang sedang hangat,” tambahnya.
Pak Sam, demikian sapaannya, menyebut wartawan tempo dulu itu kompak.
“Kekeluargaannya erat. Belum lagi ilmu jurnalistik yang diturunkan para senior. Suasana begitu tak saya temukan lagi sekarang,” ujarnya lirih.
Dia berharap, wartawan di zaman digital tak kalah bersemangat dengan wartawan pada era itu.
“Jangan menjual murah profesi kita. Ingat, jurnalis itu orang pilihan. Tidak sembarang orang bisa menjadi wartawan,” pesan pengurus Biro Organisasi PWI tahun 1983 itu. (zkr/gr/fud)