PANGGILAN Guru Tuha (dalam bahasa Indonesia berarti tua) disematkan bukan hanya karena Kiai Abdul Qadir Hasan seorang ulama senior.
Julukan itu juga diberikan lantaran Guru Tuha berhasil mendidik banyak kader.
Pendapat itu diutarakan Muhammad Jauhari. Ia Sekretaris Pondok Pesantren Darussalam Martapura, seorang aktivis NU juga.
Ditanya soal jejak pemikiran Guru Tuha, Jauhari menekankan, Guru Tuha bukan tokoh sentral seperti Kiai Hasyim Asy’ari saat mendirikan NU atau seperti Kiai Kasyful Anwar saat mengembangkan Darussalam.
“Namun, beliau dipandang sebagai tangan kanan Kiai Kasyful–Hadratussyaikh (maha guru) ulama Martapura pada masa itu,” jelasnya.

Baginya, Guru Tuha adalah sosok santri yang sebenar-benarnya. Ia menjunjung tinggi perintah gurunya. Panutannya adalah Kiai Kholil Bangkalan, Kiai Kasyful Anwar, dan Kiai Hasyim Asy’ari.
“Tiga guru ini menjadi rujukan Guru Tuha saat mendirikan NU di Banjar,” ujarnya.
Perintah mendirikan cabang NU jelas tidak mudah. Karena pada masa itu, Sarekat Islam dan Muhammadiyah sudah lebih dulu berdiri dan populer.
Keunikannya, kendati dikenal sebagai kiai tradisional, Guru Tuha juga piawai dalam berorganisasi.
“Selayaknya kiai kampung, beliau mengisi pengajian, memimpin ritual keagamaan, memberi banyu tawar, membuat wafak, dan mengobati orang sakit (tatamba),” paparnya.
Kehebatannya, Guru Tuha mempersatukan ulama Banjar untuk berkumpul dalam forum lailatul ijtima NU di Darussalam.
Di sana mereka duduk dan membahas masalah-masalah yang tengah dihadapi masyarakat. “Berkumpulnya ulama Banjar dalam satu forum yang sama, belum pernah terjadi sejak zaman Kerajaan Banjar di masa Datu Kelampayan,” bebernya.
Guru Tuha juga memprakarsai perkumpulan-perkumpulan di kampung yang berpusat di musala atau langgar. Di sana dibentuk rukun kematian, panitia kurban dan lainnya.
Diceritakan, rumah Guru Tuha tak pernah sepi dari umat yang datang untuk bertanya. “Bukan hanya masalah agama, tapi juga tentang persoalan hidup,” ujarnya.
Saat penjajahan Jepang, Guru Tuha mengalihkan majelis-majelis ke surau dan rumah ulama. Sebagai solusi, mengingat bangunan Pesantren Darussalam dijadikan barak militer.
“Majelis-majelis ini ternyata masih bertahan hingga sekarang dan menjadi bagian dari model pengajaran agama di Darussalam,” kata Jauhari.
Saat revolusi kemerdekaan, Guru Tuha kerap didatangi pejuang yang meminta petunjuk, amalan-amalan, dan azimat untuk pergi berperang.
Bagi Jauhari, yang paling menarik adalah episode ketika Guru Tuha dengan legawa menyerahkan tampuk kepemimpinan Darussalam kepada ulama yang masih muda.
Yaitu kepada Kiai Anang Sya’rani Arif. Karena dipandang lebih alim, lincah dan berpikiran maju.
“Kalau di pesantren lain, umumnya jabatan pimpinan dipegang pengasuhnya hingga wafat,” pungkasnya.
Ini merupakan bukti betapa Guru Tuha menganggap penting regenerasi kepemimpinan dan menghargai yang lebih muda. (dza/gr/fud)