PEMBANGUNAN infrastruktur sungai di Kota Banjarmasin sudah dimulai sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Tepatnya sejak tahun 1898. Ketika CA Kroesen ditunjuk Residen Banjarmasin.
Kian gencar setelah Banjarmasin berubah status menjadi Gemeente Raad (Dewan Kota Praja) pada 1919.
Status ini menandai pemberian otonomi pertama kepada masyarakat kulit putih di Banjarmasin.

Buktinya tercantum dalam lembaran negara nomor 252 tertanggal 1 Juli 1919.
Dosen sejarah Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur mengungkap, dewan ini berisi 13 anggota. Tujuh orang Eropa, empat pribumi, dan dua perwakilan Timur Asing. Dewan ini diketuai oleh Van de Riveira, ia adalah asisten residen.
Modernisasi kota ini pun dimulai. Kantor, bank, firma, gereja, jalan raya, pasar, alun-alun, dan jembatan dibangun.
Sarana pendidikan, rekreasi (khusus untuk kulit putih), kebersihan, penerangan, dan air minum juga mulai diperhatikan.
Namun, titik balik pembangunan infrastruktur Banjarmasin terjadi pada 1938. Ketika kota ini menjadi ibu kota Borneo (Kalimantan).
Kalimantan kemudian dibagi dua, Karesidenan Borneo Barat dan Karesidenan Borneo Selatan dan Timur. Ibu kota berada di Banjarmasin, gubernurnya adalah BJ Haga.
Mengacu foto yang dirilis KITLV, tampak potret jembatan yang bisa diangkat ketika ada kapal besar lewat di Sungai Martapura.
“Jembatan ini diberi nama Jembatan Coen (Kun). Kalau sekarang lokasinya di wilayah Jembatan Dewi (Jalan Ahmad Yani km 1),” sebut Mansyur.