26.1 C
Banjarmasin
Thursday, 23 March 2023

Sebaiknya Pemilu Dirancang Securang-curangnya

DALAM setiap pemilu, bentuk-bentuk kecurangan hampir pasti terjadi. Atau setidaknya, kita tak pernah bisa memastikan bahwa kecurangan sama sekali tidak ada, meski tak selalu bisa dibuktikan.

Oleh: M TAUPIK RAHMAN
Ketua Panwaslu Kecamatan Labuan Amas Selatan Kabupaten HST

Kecurangan ini dapat terjadi dengan berbagai modus dan terjadi di setiap tahap penyelenggaraan pemilu, baik pileg, pilpres maupun pilkada.

Sejak persiapan, pencoblosan, hingga perhitungan suara dan tabulasi data, berbagai bentuk kecurangan sangat mungkin terjadi.

010-Ramadhan-favehotel-Banjarbaru-Event-Ads

Kecurangan ini secara garis besar dapat berupa politik uang, kongkalikong antara penyelenggara dan peserta pemilu, keberadaan pemilih fiktif dan sebagainya. Bolong-bolong yang terdapat pada setiap tahapan pemilu sangat berpotensi memberikan ruang dilakukannya kecurangan-kecurangan semacam itu oleh pihak-pihak tertentu.

Bagi kalangan yang menolak politik uang, mereka menganggap politik uang ini merupakan tindakan yang merusak demokrasi. Yang menyebabkan hasil dari pemilihan tidak murni karena ada tindakan yang memengaruhi pemilih dalam memberikan suaranya.

Tentu ada alasan tersendiri bagi pemilih yang bersedia mengikuti ajakan dalam tindakan politik uang tersebut. Entah itu alasan ekonomi atau kedekatan (kekerabatan). Praktik politik uang bisa makin marak karena ada dua pihak yang saling membutuhkan. Penyuap berharap mendapatkan suara, penerima mendapatkan uang atau barang.

Sulit menepikan anggapan bahwa politik uang sudah menjadi budaya. Bahkan politik uang yang sudah membudaya ini, seolah juga dibenarkan oleh elite-elite politik.

Baca Juga :  Hujan yang Menemani Perjumpaan

Saking populernya, pernah ada ungkapan, “Terima uangnya dan jangan coblos orangnya.” Hal tersebut tetap saja salah, apapun motivasinya.

Jika memang kecurangan pemilu khususnya politik uang ini sudah menjadi budaya dan mendarah daging di tubuh Indonesia, maka menurut persepsi penulis, sebaiknya pemilu didesain securang-curangnya saja. Dilakukan secara masif, terstruktur, dan sistematis oleh penyelenggara pemilu maupun kontestan pemilu.

Penulis analogikan seperti game judi yang digandrungi anak muda bahkan orang tua sekarang, yakni judi slot.

Mereka tidak akan pernah sadar meskipun diminumi air yang telah “dibaca-bacakan” tuan guru. Salah satu cara agar mereka bertobat dan tersadar adalah biarkan saja sekalah-kalahnya dan sehancur-hancurnya sampai semuanya terjual dan habis. Walaupun ada dua kemungkinan konsekuensi, kalau tidak insaf, ya bisa jatuh stres.

Begitu juga pemilu, kita pesimis masyarakat akan sadar atas dampak dari politik uang kalau hanya dengan imbauan atau sekedar ancaman-ancaman dengan hukuman yang begitu ringan.

Oleh sebab itu, jika kita desain saja Pemilu 2024 ini dilakukan securang-curangnya dan melahirkan pemimpin-pemimpin zalim yang akan menyengsarakan rakyatnya, maka muncul dua kemungkinan.

Pertama, masyarakat sadar secara berjemaah atau negara ini remuk redam. Setidaknya itu menjadi pilihan berani dan akan menjadi sejarah di negeri ini.

Sesuai dengan Al-Qur’an dalam Surah Al-A’raf ayat 96 yang menyebutkan, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia sendiri, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Baca Juga :  Polisi Hoegeng

Dalam sebuah forum diskusi, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kalsel, Sarmuji pernah mengatakan, politik uang memang sudah menjadi budaya di negeri kita. Dan hal terkecil yang dapat kita lakukan untuk memutus lingkaran setan itu adalah memulainya dari keluarga dan tetangga kita. Berikan mereka pemahaman untuk tidak terlibat menerima apalagi turut membagikan uang.

Penulis pun beranggapan, kalau pola pikir masyarakat saat ini hak suara itu ada harganya, maka pemerintah sebenarnya bisa membayarnya. Coba saja alokasikan dana desa sekitar 50 persen untuk membayar warga yang mau datang dan mencoblos ke TPS. Sekitar Rp600 ribu per suara dan akan dibayar selama tiga bulan berturut-turut. Kita namai saja BLT Pemilu.

Jika ada masyarakat ketahuan menerima uang dari calon peserta pemilu, maka dicabut haknya sebagai penerima BLT Pemilu. Bahkan segala haknya untuk menerima bantuan jaminan sosial dicabut.

Saya yakin itu lebih memberi efek jera dan pemilu akan melahirkan orang-orang yang berkualitas. Mereka yang akan membangun negeri ini lebih baik lagi… tanpa korupsi. (fud)

Kompleksitas Putusan Menunda Pemilu

KEJUTAN menuju pemilu serentak 2024 seakan tak berhenti. Di tengah harap cemas publik menunggu sidang akhir permohonan judicial review di Mahkamah Konstitusi atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu--sistem proporsional terbuka (coblos gambar caleg) dimohonkan agar diubah menjadi proporsional tertutup (coblos gambar partai), muncul lagi kegaduhan lain.

Ancaman Teknologi di Dunia Kerja

Pemilu 2024, Momentum dan Pertaruhan

Temui Kami di Medsos:

Terpopuler

KDRT dalam Pernikahan Siri

Menyikapi Perbedaan Jadwal Waktu Salat

Penyadap Getah Karet, Nasibmu Kini

Berita Terbaru

Kompleksitas Putusan Menunda Pemilu

Ancaman Teknologi di Dunia Kerja

Menjadi Guru A.K.T.I.P

Pemilu 2024, Momentum dan Pertaruhan