RADIOHEAD, band rock terbesar Inggris, merayakan dua dekade album Kid A (2000) dan Amnesiac (2001).
=================
Oleh: Sjarafoeddin
Pimred Radar Banjarmasin
=================
Dirilis ulang pada November 2021, Kid A Mnesia berwujud dobel kaset.
Saya ulangi, dalam format kaset pita magnetik. Cassette.
Medsos pun geger. Banyak pendengar yang mencak-mencak. Zaman internet begini, siapa yang masih punya tape recorder atau walkman?
Terjadi juga di dalam negeri. September 2022, Dewa 19 merilis ulang album Terbaik-Terbaik (1995) dalam format vinyl.
Piringan hitam itu hanya dicetak seribu keping. Harganya berkisar Rp555 ribu sampai Rp650 ribu.
Mahal? Memang. Tapi sepadan dengan kepuasan saat membuka sampul dan memutarnya.
Tentu pelanggan Spotify tidak lantas berkurang gara-gara Radiohead dan Dewa 19. Produk digital masih unggul karena lebih murah dan mudah diakses.
Tetapi itu menunjukkan bahwa yang lawas, retro, dan yang vintage memang keras kepala. Makin digencet, makin bertingkah.
Saya juga memandang koran, majalah, dan tabloid demikian. Kira-kira.
Tidak ada yang bisa menggantikan kenikmatan membaca surat kabar di pagi hari. Ditemani kopi hitam dan pisang goreng.
Pertama, karena koran masih setia pada judul yang ringkas dan agak nyastra.
Contoh, Anda takkan menemukan judul “Dahulu Lumbung, Sekarang Limbung” atau “Keran Dibuka Keluar Angin” pada berita online.
Di media cetak, wartawan tunduk pada bahasa jurnalistik. Di media siber, mereka tunduk pada algoritma mesin pencarian.
Kedua, koran menjual perwajahan. Bermain-main dengan tipografi, foto, karikatur, dan infografis.
Bandingkan dengan laman situs berita. Mata pembaca kerap diganggu iklan obat penumbuh rambut, peluntur lemak, dan belatung yang keluar dari jempol manusia.
Kalau mau dicari-cari kejelekannya, koran itu rakus kertas dan ikut bertanggung jawab atas penebangan hutan.
Sidang pembaca, menginjak usia 22 tahun, Radar Banjarmasin beritikad untuk tidak meninggalkan produk cetaknya.
Penggunaan YouTube, Instagram, dan TikTok adalah cara kami untuk meluaskan jangkauan pasar.
Memudahkan interaksi pula. Dulu koran menggunakan surat pembaca. Sekarang cukup mengklik kolom komentar.
Kami juga tidak buta. Kenyataannya, halaman koran semakin tipis. Dan oplahnya takkan pernah mencapai angka yang dulu.
Pertanyaannya bukan kapan koran tumbang. Persoalannya bukan cetak versus dotcom. Bukan.
Sebab, apapun mediumnya, pada akhirnya yang dibutuhkan pembaca adalah jurnalisme yang sehat. (gr/fud)