25.1 C
Banjarmasin
Sunday, 4 June 2023

Lingkaran Setan Kemiskinan

*Oleh RIA ELSA PRATIWI

MENGUNGKAP hasil penelitian SMERU Research Institute, lembaga yang getol mengkaji isu-isu kemiskinan dan ketimpangan, dari tahun 1993 sampai dengan 2014 dengan sampel 20 ribu orang Indonesia, terungkap “sebagian besar anak orang miskin setelah dewasa akan tetap miskin”.

03-Wedding-Package-favehotel-Banjarbaru-2023

Lebih tepatnya 40 persen anak yang lahir dari keluarga miskin akan tetap miskin.

Data itu telah dipublikasikan dalam makalah internasional Asian Development Bank (ADB). Menunjukkan pendapatan anak-anak miskin setelah dewasa, 87 persen lebih rendah dibanding mereka yang sejak anak-anak tidak tinggal di keluarga miskin. Fakta ini cukup mengkhawatirkan.

Dalam daftar 100 negara termiskin di dunia, Indonesia menduduki peringkat 91. Maka kita harus mencari solusinya.

Adapun definisi orang miskin, ditetapkan oleh Bank Dunia, yaitu garis kemiskinan ekstrem pada USD 2,15 atau setara Rp32.757,4 (dengan acuan kurs Rp15.236) per orang per hari pada 2017.

Standar tersebut naik dibandingkan pada 2011, yaitu sebesar USD 1,9 atau Rp28.984,4 per orang per hari. Artinya jika dalam satu bulan, maka sekitar Rp975.000.

Dan 24 persen dari jumlah penduduk Indonesia, penghasilannya per bulan tidak sampai Rp1 juta. Bayangkan, jumlah penduduk Indonesia saat ini 270 juta jiwa.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) memang membuat data yang agak berbeda. Mereka mengatakan orang miskin adalah yang penghasilannya Rp505.000 per bulan. Ini setengah dari angka Bank Dunia.

Mereka yang penghasilannya di bawah Rp505 ribu berjumlah 26 juta orang atau sekitar 9,5 persen dari total penduduk Indonesia. Ini diukur dari kesenjangan daya beli.

Dilihat dari data dunia ataupun BPJS, angka ini dinilai sudah sangat mengkhawatirkan. Menjadi PR kita semua juga.

Baca Juga :  Kebaikan Pasca-Ramadan dan Kehidupan Sosial

Adapun laporan terbaru dari Oxfam berjudul ‘Reward Work, Not Wealth’ mengungkap bagaimana ekonomi global memungkinkan kelompok elit kaya untuk mengumpulkan kekayaan yang besar, sementara ratusan juta orang berjuang untuk bertahan hidup dalam kemiskinan.

Di sini 82 persen dari kekayaan yang dihasilkan tahun lalu, terkumpul hanya ada pada 1 persen orang terkaya dari populasi dunia. Sementara 3,7 miliar orang yang merupakan bagian paling miskin di dunia tidak mengalami peningkatan kekayaan. Laporan ini diluncurkan saat elit politik dan bisnis berkumpul pada Forum Ekonomi Dunia Davos, Swiss.

Kenapa seperti ada jebakan kemiskinan di negara kita? Kenapa tidak terjadi lompatan yang besar untuk keluar dari garis kemiskinan? Menurut analisis Helmy Yahya, pendapatan rendah maka daya beli juga akan menjadi rendah. Jika daya beli rendah, maka tabungan pun rendah. Mungkin malah tidak punya tabungan. Bisa saja malah terlilit utang.

Tabungan rendah juga yang menjadi penghalang orang miskin untuk berusaha. Jangankan untuk berinvestasi, untuk menabung saja tidak ada. Jangankan untuk menabung, untuk makan sehari-hari saja mungkin tidak cukup.

Hal ini juga bisa menyebabkan rendahnya dana pendidikan, bahkan mungkin putus sekolah. Kalaupun bersekolah, mungkin hanya bisa belajar di sekolah yang kurang kualitasnya, infrastrukturnya kurang, sarananya kurang bagus, tenaga pengajarnya bukan guru-guru terbaik yang juga berpenghasilan rendah.

Hal ini dapat mengakibatkan sulitnya mendapat pekerjaan yang berpenghasilan tinggi karena pendidikan yang rendah, pengetahuan yang rendah, serta skill yang rendah. Ini penyebab produktivitas yang rendah karena terjebak oleh profesi pekerjaan yang tidak menghasilkan upah-upah yang tinggi. Di sini lingkaran kemiskinan telah menjadi jebakan kehidupan.

Baca Juga :  Penyelenggara & Peserta Pemilu: Edukator Politik Untuk Masyarakat.

Selain lingkaran kemiskinan, ada beberapa penyebab dari kesulitan ekonomi yaitu. Pertama, akses perbankan, sulitnya mendapatkan pinjaman sebagai modal usaha karena tidak adanya jaminan.

Akhirnya bahkan terjebak di pinjol (pinjaman online) yang bunganya menyengsarakan.

Kedua, akses ke pendidikan menjadi seadanya. Ketiga, mempengaruhi mindset (pola pikir).

Menurut SMERU Institute, justru bantuan-bantuan yang diberikan oleh pemerintah banyak membuat orang miskin sangat mengharapkan bantuan. Sehingga tidak menjadikan ia untuk bekerja lebih keras atau terpikir keluar dari garis kemiskinan. Jadi di sini orang miskin sebaiknya harus banyak berpikir sebelum mendapat bantuan, bukan malah terlena bahkan ketergantungan terhadap setiap bantuan yang datang dari pemerintah.

Ada beberapa kebijakan agar bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. Kembali menurut Helmy Yahya, bisa dengan pendidikan digratiskan tetapi dengan fasilitas, sarana, dan tenaga pengajar yang profesional–sama rata.

Akses kredit untuk usaha dipermudah, mungkin tidak perlu menggunakan jaminan atau dengan bunga ringan.

Kemudian, perbanyak pelatihan gratis yang terhubung dengan dunia kerja sesuai dengan kebutuhan pasar (tenaga kerja). Mungkin beberapa hal tersebut bisa menjadi solusi kita bersama agar bisa keluar dari lingkaran kemiskinan.

Tidak hanya menjadi harapan saja dan cuma menjadi renungan, tetapi sebaiknya kita bahu-membahu untuk berpegangan tangan membantu orang di sekitar kita yang memang membutuhkan bantuan. Bisa apa saja, bukan tentang materi saja melainkan bisa memberikan ilmu, informasi lowongan pekerjaan, memberikan tips atau bahkan motivasi untuk menguatkan keinginan supaya mereka bersemangat berjuang keluar dari lingkaran kemiskinan. (*/fud)

Saatnya Memanggungkan Petani

BERAPA banyak pupuk yang diperlukan? Pupuk jenis apa yang diperlukan? Ke mana menyalurkan subsidi pupuk yang tepat? Cukupkah produksi dalam negeri memenuhi kebutuhan tersebut?

Temui Kami di Medsos:

Terpopuler

KDRT dalam Pernikahan Siri

Menyikapi Perbedaan Jadwal Waktu Salat

Berita Terbaru