DIKABULKANNYA gugatan atas Undang-Undang Pemilihan Umum Pasal 280 ayat 1 huruf h yang berisi larangan pelaksana, peserta dan tim kampanye untuk menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan berdasar amar putusan Mahkamah Konstitusi nomor 65/PUU-XXI/2023, membuat tempat pendidikan (sekolah dan kampus) menjadi legal untuk dijadikan tempat kampanye.
Oleh UNTUNG LESTARI
Guru UPTD SDN 4 Sabuhur Kabupaten Tanah Laut
Kabar yang menggembirakan tetapi sekaligus mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, dengan dibolehkannya peserta pemilu untuk hadir di satuan pendidikan, jelas akan membuat para pemilih khususnya pemilih pemula mendapat pengalaman edukasi politik karena bertemu langsung dengan calon wakilnya nanti di parlemen. Dengan begitu, pemilih pemula dapat berinteraksi, mengkritisi, dan menyampaikan harapannya tanpa harus menyediakan waktu khusus menghadiri kampanye di tempat tertentu.

Di lain pihak, dengan legalnya kampanye di satuan pendidikan menimbulkan kekhawatiran terganggunya aktivitas belajar peserta didik, lebih parah lagi bukan tidak mungkin satuan pendidikan yang dijadikan tempat kampanye akan “dilabel” sebagai milik calon peserta pemilu tertentu, sehingga akan menimbulkan stigma negatif bagi calon lain yang tidak berkampanye di satuan pendidikan tersebut.
Persoalan tersebut harus menjadi perhatian serius satuan pendidikan, sehingga diharapkan ketika satuan pendidikan mengizinkan salah satu calon kontestan berkampanye di tempatnya, maka ketika ada kontestan lain menjadwalkan untuk berkampanye, satuan pendidikan harus memberikan izin pula. Sehingga tidak terkesan bahwa satuan pendidian “dikuasai” oleh kandidat atau kubu tertentu.
Selain itu, bisa dibayangkan jika dalam sebuah daerah pemilihan (dapil) memiliki sebut saja 50 caleg, maka satuan pendidikan harus siap didatangi sebanyak 50 kali untuk kegiatan kampanye. Jika satuan pendidikan tidak bersedia di datangi padahal pernah didatangi salah calon peserta pemilu, tentu akan menimbulkan kecemburuan dan bahkan bukan tidak mungkin akan ditempuh jalur hukum, karena UU sudah melindungi bahwa peserta pemilu berhak untuk berkampanye di satuan pendidikan meski dengan syarat sepersetujuan pengelola satuan pendidikan.
Ironisnya, tidak jarang kedatangan peserta pemilu terkadang berpengaruh terhadap masa depan satuan pendidikan yang pernah di datangi. Jika peserta pemilu yang berkampanye di satuan pendidikan terpilih, biasanya satuan pendidikan tersebut akan mendapat berbagai keuntungan termasuk karir kepala sekolah. Sebaliknya, jika peserta pemilu yang berkampaye di satuan pendidikan tersebut ternyata tidak terpilih, maka tidak sedikit yang membuat sekolah khususnya kepala sekolah yang “menerima” akibatnya.
Hal-hal semacam itulah yang sebenarnya dikhawatirkan oleh rekan guru yang saat ini menjabat sebagai kepala sekolah, karena izin kampanye di satuan pendidikan tentu yang berhak mengeluarkanya adalah kepala sekolah. Jika tidak diantisipasi mulai sekarang, maka bukan tidak mungkin, kekhawatiran kepsek terkait akibat dari mengizinkan peserta Pemilu berkampanye di satuan pendidikan yang dipimpinnya akan berakibat kepada keberlangsungan jabatan atau karier jabatannya.
Dinas Pendidikan tentu harus memberikan perhatian dan solusi terkait dilema yang dirasakan kepsek ini, sebagai contoh dengan memberikan jadwal khusus terkait kampanye oleh peserta pemilu yang ingin berkampaye di satuan pendidikan. Dengan begitu, kepsek sebagai pemberi izin kampanye di satuan pendidikan tidak lagi menjadi penentu keterlaksanaan kampanye, hanya berfungsi sebagai tempat kegiatan kampanye saja, sedangkan penentunya adalah Dinas Pendidikan.
Meski begitu, usulan solusi terkait pelaksanaan kampanye tersebut juga bukan tanpa konsekuensi. Bagi kepsek, kekhawatiran akan dijadikan kambing hitam kekalahan peserta Pemilu yang berkampanye di satuan pendidikannya bisa teratasi, tetapi bagi Dinas Pendidikan yang mengambil alih kewenangan penjadwalan kampanye di satuan pendidikan, bukan tidak mungkin akan menjadi pihak yang menerima konsekuensinya.