Kongres rakyat, pemilihan umum tahun 2024 nanti akan menjadi tonggak sejarah bagi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tiga Pemilu akan dilaksanakan dalam tahun yang sama, serentak. Pemilihan Legislatif (Pileg), Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Oleh: WAHYUDI
Redaktur Radar Banjarmasin,
Dosen FISIP Uniska Banjarmasin
“PEMILU Sebagai Sarana Integrasi Bangsa” dipilih menjadi tema Pemilu 2024 nanti. Tajuk ini sangat fundamental, sarat akan makna serta cita-cita.
Sarana bisa diartikan berupa alat atau upaya. Sedangkan integrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu sebuah proses pembaharuan hingga menjadi kesatuan yang utuh.

Kalau menjadi sebuah kalimat bisa ditafsirkan bahwa pemilu sebagai sarana integritas bangsa adalah upaya atau proses penyatuan berbagai unsur atau kelompok melalui pemilu sehingga menjadi satu kesatuan bangsa.
Secara menyeluruh, tema ini berdasar pada Pancasila dan juga semboyan bangsa, Bhinneka Tunggal Ika.
Mengapa harus mengangkat tema ini? Bukankah selama ini bangsa Indonesia sudah bersatu dalam bingkai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika?
Ya, bangsa Indonesia memang sudah bersatu, namun pemilu (Pilpres dan Pilkada) yang merupakan penerapan dari dasar negara dan diharapkan menjadi ajang kontestasi politik untuk mencari pemimpin idaman, pada beberapa kali penyelenggaraannya belakangan, justru menyisakan perpecahan.
Perbedaan adalah kewajaran dan suatu keniscayaan. Namun tidak demikian dengan perpecahan. Presiden keempat KH Abdurrahman Wahid berujar bahwa agama tidak melarang perbedaan, yang dilarang adalah perpecahan.
Semenjak diadakan dengan sistem dipilih secara langsung oleh rakyat pada tahun 2004, Pilpres selalu menyisakan perpecahan antar kubu. Dan pada dua gelaran terakhir, perpecahan itu semakin menggebu-gebu.
Pada Pilkada memang kurang berasa, karena lingkupnya tidak seluas pemilihan kepala negara. Akan tetapi tetap menyisakan percikan antar simpatisan. Minimal di dunia maya.
Adu bacot di Medsos
Tema yang diangkat pada pemilu serentak tahun depan bisa dikatakan cukup nekat, tapi tidak salah, sebagai upaya untuk mencegah perpecahan rakyat menjadi semakin parah. Namun, selain menjadi momentum, tema ini sekaligus juga merupakan pertaruhan.
Momentum untuk membuktikan bahwa kita tidak salah menjadikan Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai pemersatu bangsa. Momentum untuk mewujudkan bahwa melalui pemilu segala perbedaan dukungan bisa bersatu pada sebelum, saat dan pasca pencoblosan. Momentum untuk memperbaiki perpecahan rakyat atas perbedaan dukungan.
Menjadi pertaruhan, apakah dasar negara berupa Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi sandaran tema “Pemilu Sebagai Sarana Integrasi Bangsa” berlaku juga pada penyelenggaraan pemilu yang merupakan salah satu penerapan dari sebuah demokrasi?
Siapa yang menjadi pemeran utama dalam menentukan apakah pertaruhan ini akan menjadi momentum? Bukan saya, Anda maupun mereka. Tapi kita! Ya, kita segenap unsur bangsa. Rakyat Indonesia. Pemegang hak suara, pemerintah, aparat, penyelenggara, peserta dan lainnya.
Pemilihan umum di Indonesia sejauh ini telah dilaksanakan sebanyak 12 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019. Tahun depan adalah angka keramat, yang ke-13. Angka yang oleh sebagian orang dianggap merupakan angka sial.
Namun pada perspektif lain, angka 13 bukanlah angka sial. Seorang akademisi dari Gorontalo, Arifasno Napu secara tegas menyangkal bahwa angka 13 mengandung arti kesialan. Menurutnya, angka 13 merupakan kesatuan kekuatan yang tak terhingga.
Selaras dengan harapan dalam tema pemilu yang telah ditetapkan. Dia terinspirasi bahwa dalam Islam ada tiga unsur kesatuan kekuatan yang tak terhingga, yaitu Rukun Iman yang berjumlah enam, Rukun Islam yang berjumlah lima dan ditambah dua dari Rukun Ihsan. Sehingga apabila ketiga rukun itu digabungkan maka berjumlah 13.
Merujuk pada nilai luhur dan tujuan dari dasar negara berupa Pancasila, tiga rukun yang menjadi kesatuan kekuatan tak terhingga serta Muslim adalah mayoritas di Indonesia, rasanya cita-cita untuk menjadikan Pemilu 2024 yang berkualitas dan mempersatukan bukanlah sebuah pokok perkara.
Kita tentu berharap Pemilu 2024 tidak lagi menimbulkan polarisasi tajam di masyarakat, yang dapat menyebabkan perpecahan bahkan disintegrasi bangsa. Pemilu sejatinya adalah jalan damai dalam perebutan kekuasaan dan perbedaan pilihan politik pada sebuah negara demokrasi yang masyarakatnya multikultural.
Sudahi perpecahan karena perbedaan. Mari kita jadikan perbedaan yang diakhiri dengan persatuan. Kita buktikan, bahwa kontestasi Pemilu 2024 nanti akan benar-benar menjadi sarana integrasi bangsa. Usai pemilu, pihak yang kalah memberi selamat, dan pihak yang menang sudah seharusnya tidak tinggi hati. (fud)