KEDUTAAN Besar Swedia di Jakarta digeruduk demonstran pada bulan Februari 2023. Ini buntut aksi protes pembakaran Al-Qur’an oleh Rasmus Paludan di Stockholm, Swedia dan pemimpin sayap kanan Edwin Wagensveld di Den Haag, Belanda.
Oleh: TEGUH PAMUNGKAS
Pengkaji masalah sosial kultural
Warga di Pelaihari
Suatu keanehan yang nyata, ketika otoritas Swedia ternyata membiarkan apa yang telah dilakukan oleh Paludan. Dengan dalih kebebasan berekspresi, lantas terus seenaknya berperilaku demikian tanpa memikirkan ekses yang ditimbulkan.
Sensasi politik bersinggungan dengan SARA juga pernah terjadi di India beberapa waktu yang lalu. Sampai-sampai pemerintah RI melalui Kementerian Luar Negeri mengutuk keras pernyataan yang merendahkan Nabi Muhammad oleh dua orang politisi India. Pernyataan yang mengandung kontroversial menjadikan iklim negara–termasuk Indonesia–menjadi tidak nyaman. Pesan itu disampaikan kepada Duta Besar India di Jakarta.

Perlu kiranya Kemenlu RI juga melakukan hal yang sama, melayangkan pernyataan protes atas aksi yang dilakukan politisi Swedia dan Belanda tersebut. Apalagi kecaman serupa juga muncul di berbagai negara di belahan dunia.
Kejadian itu tentu sangat disayangkan. Akibat miskin narasi berimplikasi kegaduhan, bukan hanya bagi partainya tempat ia bernaung, tetapi berdampak luas sampai mengganggu hubungan diplomatik dengan negara lain.
India merasa memiliki kesamaan dengan Indonesia karena berbagai faktor. Di antaranya adalah kesamaan agama yang dianut warga negaranya, seperti Hindu, Budha dan Islam. Swedia dan Belanda mayoritas warganya beragama Kristen. Pun Indonesia ada yang warga negaranya yang memeluk agama Kristen.
Kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia diatur dalam UUD 1945. Pada Pasal 28E ayat 1 dan ayat 2 mengatur tentang hak beragama; (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Bangsa Indonesia menuangkan pengakuan kebebasan dari penjajahan dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea pertama yang berbunyi, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Begitu pula kebebasan berekspresi telah diatur pada UUD 1945. Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan amanat undang-undang, tertera pada Pasal 28E ayat 3 yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”
Memang menata sendi-sendi interaksi kehidupan bermasyarakat di sebuah negara tidak mudah. Apalagi negara dengan jumlah populasi penduduk yang sangat banyak. Oleh karena itu, negara yang telah direbut dengan susah payah jangan ada terselip sumbu-sumbu provokatif yang akan menimbulkan kekacauan sosial.
Kita, generasi muda Indonesia diwarisi sebuah tongkat estafet bernama Bhinneka Tunggal Ika yang mesti dijaga kehormatannya. Jadilah komunikator-komunikator politik yang sejuk dalam berkampanye, cerdas dalam menyampaikan visi dan misi, baik parpol, caleg maupun capres di pemilu.
Berkontempelasi, jalanilah kehidupan politik yang merdeka ini secara santun dan elegan, menjaga moralitas dan mengedepankan persaudaraan. Sehingga dengan kekuatan kolektif dapat membangun kehidupan berbangsa lebih baik, demi negara lebih maju.
Tanpa ujaran kebencian, perpolitikan Indonesia akan berjalan baik. Iklim demokrasi terwarnai dengan indah. Kebebasan berbicara yang terkendali bisa menjadi pondasi dalam membangun bangsa dengan kebersamaan. Ujaran atau kata-kata, perilaku, tulisan merupakan pengaktualan seseorang di mana memiliki niat akan menyampaikan sesuatu.
Tentunya bertujuan memperoleh dampak tertentu, baik secara langsung maupun tak langsung. Maka komunikasikanlah secara santun.
Mengemukakan dan menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya dengan bertanggung jawab sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku adalah kemerdekaan menyampaikan pendapat.
Penulis meyakini para politisi Indonesia memiliki wawasan kebangsaan dan jiwa nasionalisme yang kuat, sehingga bisa menggunakan kebebasan berpendapat dengan baik.
Sangat bermanfaat apabila penyampaian pesan dengan mengedepankan budaya toleransi untuk menjelaskan informasi yang sehat menginspirasi banyak orang. Terlebih dalam pemaparannya tanpa ada kebencian, fitnah, ataupun kekerasan. Konsep pemikiran politisi dan partai politik disampaikan secara jelas dan terarah yang berupa visi dan misi. Terlalu serampangan ketika ada seseorang berdiskusi, orasi, berdebat disertai perasaan menghina, membenci dan bahkan menjatuhkan lawan bicara dengan bernuansa agama, ras, suku dan budaya.
Potret peristiwa yang terjadi di Swedia, Belanda dan India tak perlu dilakukan, semestinya memikirkan fungsi dari hak kebebasan mengemukakan pendapat itu seperti apa.
Sebaiknya lebih bijak bertutur dalam mengkritisi masalah, lebih luwes saat menyampaikan dan mendengarkan saran, melontarkan kritik yang bisa membangun bangsa. Apalagi di masa-masa menjelang musim pemilu 2024.
Mari perpanjang rajutan kehidupan berbangsa. Berbenah, menganyam kerukunan hidup bersama guna menyongsong masa depan bangsa Indonesia. Karena sebuah bangsa dapat mengalami kehancuran bila toleransi agama, sosial, dan budaya tidak diperhatikan lagi.
Kembali pada cita-cita awal, bahwa kehadiran politik tiada lain demi mengantarkan masyarakat Indonesia pada kesejahteraan. Oleh karena itu, alangkah elok jika bisa berpolitik dengan santun dan elegan. (fud)