23.1 C
Banjarmasin
Tuesday, 21 March 2023

Euforia Kemenangan Justice Collaborator

TAK terasa sudah hampir dua puluh hari sejak Richard Eliezer menikmati kemenangan. Hari itu, Rabu 15 Februari 2023, kalau ada orang yang paling tegang, itulah Eliezer sang justice collaborator. Betapa tidak, karena sebelumnya Eliezer dituntut jaksa penuntut umum (JPU) dengan pidana 12 tahun penjara. Nasibnya hari itu ditentukan hakim lewat ketukan palunya.

Oleh: SYAIFUL BAHRI DJAMARAH
Wakil Dekan Bidang kemahasiswaan dan Kerjasama masa bakti 2017-2021
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Antasari Banjarmasin

Amar putusan hakim dengan penjara satu setengah tahun akhirnya mengakhiri ketegangan Eliezer. Eliezer menyambutnya dengan perasaan senang, menangis berurai air mata bahagia. Semua pendukungnya yang hadir ketika itu ikut tenggelam dalam suasana gembira, meluapkan perasaan kegembiraan yang luar biasa.

Suasana gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang semula tegang dan tenang berubah menjadi gaduh tak terkendali. Ruang sidang riuh, sorak sorai membahana, teriakan, saling berpelukan, dan berjabat tangan.

010-Ramadhan-favehotel-Banjarbaru-Event-Ads

Itulah euforia. Euforia diperlihatkan oleh mereka, karena mereka menikmati kemenangan. Euforia (Yunani; euphoros) adalah bentuk perasaan nyaman atau perasaan gembira yang berlebihan. Euforia terjadi ketika seseorang berada pada kondisi kebahagiaan yang ekstrem pada situasi tertentu dan terkadang melebihi kewajaran. Kondisi inilah yang dialami oleh pendukung Eliezer.

Jangan Berlebihan

Sejak palu diturunkan hakim. Ketika itulah awal kemenangan bagi keadilan. Adil, mungkin, bagi Eliezer dan bagi pencari keadilan. Adil menurut Ronny Talapessy penasihat hukumnya. Adil menurut logika publik. Kenapa adil? Karena sesuai harapan. Keluarga Josua senang bercampur bahagia karena keinginannya tercapai. Keinginan mereka agar Eliezer diberi hukuman serendah-rendahnya terpenuhi. Lebih rendah dari 12 tahun, yaitu satu tahun enam bulan penjara potong masa tahanan.

Kemenangan itu kekuatan. Kemenangan melahirkan kebahagiaan. Tapi, tanpa rasa senang, riang gembira, dan suka ria, tidak ada kebahagiaan. Semua itu luapan kegembiraan. Gembira sekaligus bahagia. Setiap orang punya cara sendiri bagaimana mengekspresikan kegembiraan. Oleh karena itu bergembiralah sebelum bergembira itu dilarang.

Bergembira, bersuka ria, riang gembira tidak dilarang asalkan tidak berlebih-lebihan. Sebab sesuatu yang melampaui batas kadang justru membuat suasana kurang menyenangkan bagi orang lain yang kebetulan ada di sekitar kita. Karena tidak semua orang selalu siap menerima sikap dan perilaku kita seperti itu jika dilakukan melampaui batas. Sampai batas-batas tertentu, mungkin, masih bisa dimaklumi. Setelah itu muncul kritik. Kritik itu ada karena konflik batin dalam diri seseorang yang belum terselesaikan dengan damai sehingga menuai konflik sosial dalam bentuk kritik.

Baca Juga :  Organisasi Kepemudaan

Menang atau kalah itu biasa. Menang dan menikmatinya adalah wajar. Tetapi, jangan berlebihan. Yang kalah juga tidak dilarang menikmati kekalahannya dengan bersedih tapi sewajarnya saja. Jangan larut dalam kesedihan. Di balik kekalahan masih ada harapan untuk menang. Yang penting tidak berputus asa.

Sesungguhnya kemenangan dan kekalahanan itu tanpa jarak. Oleh karena itu, kemenangan dalam bayang-bayang kekalahan. Kegagalan itu tertundanya harapan. Boleh kecewa karena gagal, tetapi jangan putus dari harapan.

Kemenangan bukanlah persoalan memperlihatkan keunggulan, tetapi bagaimana cara memperoleh kemenangan itu. Ketika kemenangan diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar, maka sesungguhnya itulah kekalahan. Lebih baik kalah karena mempertahankan prinsip kebenaran daripada menang karena memperjuangkan yang salah.

Akan tetapi, dalam kasus Eliezer ini, apakah ada menang dan kalah? Tentu saja ada. Tetapi, tidak seperti pemilu yang dimenangkan dengan securang-curangnya.

Ada dua yang dimenangkan Eliezer. Pertama, Eliezer menang atas dirinya sendiri, yaitu berhasil mengendalikan ledakan emosionalnya sampai sebatas wajar. Hal ini terlihat jauh sebelum vonis hakim itu. Misalnya, ketika dituntut JPU 12 tahun penjara, dia hanya sedih dan menangis, tidak mencaci maki jaksa atau melemparkan sepatunya ke muka jaksa.

Kedua, Eliezer menang karena berhasil menelanjangi kemunafikan Sambo. Itu berkat kejujurannya sebagai justice collaborator. Ternyata, stabilitas emosi dan kejujurannya berbuah manis. Dia menikmati kemenangan. Hanya dituntut hakim satu setengah tahun penjara. Alhamdulillah.

Belum Final

Kemenangan yang dinikmati Eliezer belum final. Karena masih ada lagi pengadilan berikutnya menanti jika JPU mengajukan banding karena tidak setuju dengan keputusan hakim yang memvonis Eliezer jauh turun dari 12 tahun, yaitu satu tahun enam bulan penjara.

Itu artinya kemenangan yang dinikmati dengan euforia itu adalah kemenangan semu belaka. Seperti apa nasib Eliezer di hari-hari mendatang, masih dalam penerawangan. Hati Eliezer masih dag-dig-dug. Kita tidak tahu apakah dewa keberuntungan masih berpihak kepada Eliezer jika JPU benar-benar mengajukan banding. Kita berharap semoga saja JPU welas asih, punya hati nurani, sehingga membatalkan niatnya mengajukan banding. Dengan begitu, kemenangan semu yang dinikmati dengan euforia, tidak lagi kemenangan semu, tetapi kemenangan yang sesungguhnya.

Baca Juga :  Banyak Aplikasi, Pertanda Pemerintahan Modern?

Pro Kontra

Ketukan palu hakim itu meski terasa indah bagi Eliezer tetapi tidak mampu menyatukan persepsi publik. Vonis hakim itu menuai pro kontra dari banyak pihak, bagaikan jamur tumbuh di musim hujan. Bagi yang pro, keputusan hakim memvonis Eliezer satu setengah tahun itu sudah adil. Ronny Talapessy, penasehat hukum Eliezer mengatakan masih ada keadilan untuk wong cilik.

Akan tetapi, bagi yang kontra, mereka mengatakan, keputusan hakim itu terlalu rendah. Arinto Pangaribuan misalnya, menurutnya keputusan hakim terlalu rendah. Dia berharap Eliezer dijatuhi hukuman di atas dari itu agar tidak terlalu jomplang. Gayus Lumbuun, mantan hakim agung, meski belum menerima, tetapi dia tidak mempersoalkan lebih jauh keputusan hakim itu. Dia hanya berpendapat, keputusan hakim tidak netral karena ada tekanan dari luar. Misalnya, adanya surat dari LPSK dan surat dari peguyuban guru besar.

Kemenangan Hakiki

Terlepas dari pro kontra, yang jelas Eliezer sedang menikmati kemenangan meskipun belum final. Ada tanya dan asa ketika itu. Apakah JPU benar-benar akan mengajukan banding sebagai episode baru dalam drama Sambo. Jika benar, semoga saja palu hakim masih berpihak pada sang JC. Tidak kemasukan angin.

Syukurlah pertanyaan saya terjawab. Asaku terpenuhi. Sang pengungkap tabir kepalsuan boleh bernapas lega. Sebab sore itu, Kamis 16 Februari 2023, Adil Zumhana atas nama JPU menyatakan tidak akan mengajukan banding. Selesai.

Akhirnya, badai itu berlalu. Kedamaian tercipta. Kemenangan semu menjelma menjadi kemenangan hakiki. Kejujuran di atas segala-galanya. Berbahagialah siapapun di negeri ini yang siap menjadi JC yang dicontohkan Eliezer. Semoga. (fud)

Kompleksitas Putusan Menunda Pemilu

KEJUTAN menuju pemilu serentak 2024 seakan tak berhenti. Di tengah harap cemas publik menunggu sidang akhir permohonan judicial review di Mahkamah Konstitusi atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu--sistem proporsional terbuka (coblos gambar caleg) dimohonkan agar diubah menjadi proporsional tertutup (coblos gambar partai), muncul lagi kegaduhan lain.

Ancaman Teknologi di Dunia Kerja

Pemilu 2024, Momentum dan Pertaruhan

Temui Kami di Medsos:

Terpopuler

KDRT dalam Pernikahan Siri

Esensi Haul

Kompleksitas Putusan Menunda Pemilu

Berita Terbaru

Kompleksitas Putusan Menunda Pemilu

Ancaman Teknologi di Dunia Kerja

Menjadi Guru A.K.T.I.P

Pemilu 2024, Momentum dan Pertaruhan