SETELAH beberapa bulan Ferdy Sambo duduk di kursi pesakitan, dramanya mendekati akhir. Pada 13 Februari 2023 Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menjatuhkan vonis mati kepada Sambo yang telah membunuh Brigadir Josua Hutabarat.
Oleh: SYAIFUL BAHRI DJAMARAH
Dosen PAI dan PPG
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
UIN Antasari Banjarmasin
Itu berarti mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) itu akan lama mendekam di balik jeruji besi seorang diri.
Saat ini, sulit ditebak, ide-ide gila apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran Sambo. Meratapi nasib? Putus asa dan bunuh diri? Berusaha mencari jalan keluar dan lari? Entahlah. Hanya Sambo yang tahu.

Kenapa Sambo divonis mati? Menurut Ketua Majelis Hakim, Wahyu Iman Santoso, Ferdy Sambo terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.
Perbuatan itu dilakukan Sambo bersama istrinya Putri Candrawathi, ajudannya Richard Eliezer dan Ricky Rizal serta sopirnya Kuat Ma’ruf.
Atas kejahatannya (sebagai stimulus), Sambo dituntut pasal berlapis (sebagai respons), yaitu Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 KUHP ayat (1) ke-1. dan Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 atas perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sambo telah menebar angin menuai badai. Angin kejahatan pembunuhan yang direncanakannya secara masif sistematis telah terbongkar dan tersedot ke pusaran badai hukum. Dia telah menjelmakan konflik batinnnya menjadi konflik sosial.
Pengadilan berjalan terbuka, menepis isu ketidakadilan dalam pengadilan. Tidak ada suap maupun disuapi.
Keputusan kematian itu atas nama tuhan. Berkeadilan dan ihsan. Adil bagi semua. Menebarkan kebaikan bagi pencari keadilan. Tidak ada yang terzalimi. Yang disayangkan, kenapa konflik batin itu dia jelmakan menjadi konflik sosial? Sendainya konflik batinnya dikelola dengan cerdas, maka drama pengadilan atas dirinya tidak terjadi. Mimpinya memang indah. Tetapi, tidak seindah di alam nyata.
Pertanyaannya, apakah Sambo benar membunuh Josua hanya karena cinta atau atas nama harga diri? Rasanya sulit dicerna oleh logika. Karena jabatan jenderal sebagai taruhannya.
Kini drama Sambo sudah berakhir. Klimaksnya telah memuaskan rasa keadilan publik.
Tidak ada lagi deraian air mata kesedihan di pengadilan. Orang tua Josua dan keluarga puas dan bahagia. Teka-teki publik pun terjawab sudah: vonis angka atau huruf.
Betapa drama Sambo memberikan pelajaran berharga tentang kepemimpinan yang tidak adil dan tidak ihsan. Demi egonya, karena benci dan dendam, Sambo tega membunuh Josua. Tidak memberi benih ihsan sedikitpun ketika Josua mencari benih ihsan itu. Kebencian dan dendam itu disebabkan konflik batin dalam diri Sambo yang belum terselesaikan secara damai.
Sambo memang seorang pemimpin. Dia gigih, berani, disiplin, dan pantang menyerah. Hanya sayang, dia tidak adil dan tidak ihsan. Karena egonya, kepentingan dirinya, entah harga dirinya dan isterinya, Sambo sampai hati mengorbankan banyak anak buahnya dalam drama pembunuhan terhadap Josua.
Seorang pemimpin seharusnya melindungi anak buahnya. Memberikan rasa aman dan nyaman. Mampu berbuat adil dan ihsan. Sambo memang cerdas secara intelektual. Tetapi kurang cerdas secara spiritual. Skenario pembunuhan yang dia bangun sungguh cerdas meskipun akhirnya terbongkar oleh kejujuran justice collaborator–Richard Eliezer. Sangat disayangkan, kecerdasan spiritualnya ketika akan melakukan pembunuhan terhadap Josua berada di titik nadir. Karena dia sudah terjerembab ke orbit nafsu angkara murka dan memperturutkan libido emosionalnya untuk membunuh Josua.
Seandainya Sambo mencontoh Khalifah Umar bin Khattab, seorang pemimpin sederhana, cerdas, adil dan ihsan? Tapi, sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Tidak perlu disesalkan. Bukankah di kalangan orang Islam juga ketika menjadi pemimpin tidak menjadikan Umar sebagai panutan? Diberi kepercayaan jadi pemimpin justru lupa daratan, tidak adil, dan bahkan pilih kasih.
Padahal dalam Alquran dijelaskan, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Pesan moral dari surah An-Nahl ayat 90 tersebut adalah bahwa ketika pemimpin tidak memberi rasa keadilan, maka di situ tidak ada ihsan. Yang ada hanya sinyal konflik batin cikal bakal lahirnya konflik sosial. Ketika pemimpin tidak adil dan ihsan, maka ada sesuatu yang hilang, yaitu tali jiwa. Ketika tali jiwa sirna, maka rasa aman, rasa nyaman, tidak bisa tumbuh subur. Yang ada hanya kebencian, cacian, makian, bahkan dendam. Wujudnya tidak menutup kemungkinan dalam bentuk pemukulan, melukai badan, dan bahkan pembunuhan. Dalam beberapa kasus sering didengar, pembantu rumah tangga membunuh majikannya.
Dalam konteks ini, sebagai pemimpin Sambo seharusnya melindungi dan menyayangi anak buahnya dengan cara berlaku adil dan berbuat ihsan. Bukan malah menzalimi. Seandainya Josua tahu lebih dulu, demi menyelamatkan dirinya, bahwa Sambo akan membunuhnya, maka Josua–mungkin–akan melakukan pengamanan terhadap dirinya atau membinasakan Sambo. Potensi membunuh ini ada pada setiap manusia ketika dia sangat terancam. Saya meragukan kalau Sambo tidak tahu tafsir dari sila kemanusiaan yang adil dan beradab karena sejak di bangku SD dia sudah hafal Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara kita.
Demikianlah. Menjadi pemimpin itu tidak benar kalau lupa daratan, aji mumpung, sikut sana sikut sini. Tetapi ada tanggung jawab moral yang menuntut keadilan dan ihsan. Keberhasilan pemimpin itu tidak diukur dari lamanya memimpin, tetapi diukur dari setiap perubahan positif apa yang telah dia lakukan ketika memimpin. Terutama terkait berbuat adil dan menebarkan ihsan. Adil itu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ihsan itu beradab berkeadilan. Ihsan berkeadilan berarti tidak pilih kasih, merata dan berimbang. Semua anak buah dikasihi dan disayangi. Tidak ada kebencian dan dendam.
Rektor UIN Antasari, Prof Mujiburrahman pernah mengatakan, menjadi pemimpin itu harus ikhlas dan profesional. Dalam ikhlas itu ada adil dan ikhsan. Agar adil dan ihsan, seorang pemimpin jangan seperti Sambo, lupa daratan, tidak adil, dan pilih kasih. Tetapi, hendaknya memberikan tugas kepada anak buah, karena itu haknya, hendaknya merata dan berimbang tanpa pandang bulu. Tanpa melihat kelompok kita, kami atau kamu. Jangan ada kesan menghalang-halangi karier anak buah. Sambo adalah pemimpin yang zalim yang menghancurkan karier anak buah.
Akhirnya, apakah kita termasuk pemimpin yang lupa daratan, tidak adil dan pilih kasih. Jika benar, maka kita termasuk pemimpin yang zalim. Semoga tidak. (fud)