Dalam mazhab kontemporer, kaligrafer lebih bebas menuangkan ekspresi. Terkesan keluar dari pakem, tapi tetap menjaga kaidah penulisan khat.
– Oleh: WAHYU RAMADHAN, Banjarmasin

Kuas meliuk-liuk di atas kanvas yang tak lebih besar dari kertas HSV. Semula hanya membentuk satu huruf hijaiyah. Perlahan huruf itu membentuk sebuah kalimat.
Hasil akhirnya sebuah pemandangan. Pemandangan yang dibentuk dari kalimat berbahasa Arab, “Hasbunallah wani’mal wakil.”
Kalimat yang tampil seperti kristal di tengah deretan bebatuan dan akar pepohonan. Di tepi kanvas, tertera nama pembuat dan tanggal lukisan dibuat.
Inilah sebuah karya seni kaligrafi Arab bermazhab kontemporer.
Kaligrafi itu dipajang di dinding lantai dua Masjid Abdur Rahman Ismail di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari. Dari masjid inilah Sanggar Seni Lukis dan Kaligrafi (SSLK) Al Banjary bermarkas.
Kamis (10/3) itu, belasan mahasiswa tampak asyik menekuri kanvas di hadapannya.
Salah satunya Elina Sari. Ia merampungkan sebuah lukisan. Dari Asmaul Husna, ia mengambil nama Al Mujib. Artinya yang Maha Mengabulkan.
Lukisannya agak nyentrik. Huruf-huruf Arab itu dibentuk dari dadun hijau dan ranting cokelat.
“Dalam kaligrafi kontemporer, kita bisa memadukannya dengan keindahan alam,” ujarnya.

“Saya suka melukis realis. Ketika tahu ada aliran kaligrafi ini, saya tertarik mencobanya,” tambah mahasiswi semester IV Jurusan Ilmu Perpustakaan Informasi Islam di Fakultas Tarbiyah itu.
Senada dengan kakak beradik, Ahmad Rifani dan Muhammad Rahmani.
Keduanya masih semester IV. Kakaknya di Fakultas Syariah dan adiknya di Falultas Dakwah.
Rifani memilih melukis nama Al Khaliq, artinya Maha Mencipta. Sedangkan Rahmani memilih Al Muhshii, artinya yang Maha Menghitung.
Al Khaliq dimunculkan dalam bulan dan bintang. Sedangkan Al Muhshii dimunculkan lewat matahari yang menyinari padang rumput.
“Sejak kecil, kami berdua memang gemar melukis. Kami rasa, menggeluti aliran ini pilihan yang pas untuk mengembangkan bakat,” kata Rifani.
“Juga karena kami belum terlalu mahir dalam seni kaligrafi untuk keperluan naskah,” timpal Rahmani.
Secara sederhana, mazhab kontemporer mengizinkan penggabungan penulisan huruf indah dengan seni melukis.
Berbeda dengan kaligrafi untuk keperluan penulisan naskah, mushaf atau dekorasi.
“Namun, meski bebas berkreasi, kaligrafer juga harus tetap memperhatikan penulisan Arab-nya. Anatomi huruf serta rangkaian kalimatnya mesti pas,” jelas Ketua Umum SSLK Al Banjary, Abdul Aziz Fikri.
“Jadi, tidak ujug-ujug merangkai huruf menjadi kalimat lalu dijadikan pemandangan,” tegasnya.
Pemilihan teks juga sama. Bisa berupa ayat-ayat Alquran atau hadis nabi.
Bedanya, dalam mazhab kontemporer, kreativitas dan proporsi warna mesti ditonjolkan.
Saat ini, mazhab ini terbagi menjadi dua aliran, ekpresionis dan tradisional.
“Contoh ekspresionis seperti yang tadi. Kaligrafi Arab dibentuk sedemikian rupa menjadi sebuah pemandangan,” jelasnya.
Sedangkan tradisional, dalam satu karya yang sama, kaligrafi dan lukisan hadir terpisah.
“Misalkan ada lukisan siluet masjid. Lalu di sampingnya ada kaligrafi,” ulasnya.
Menurutnya, orang tertarik menggeluti kaligrafi kontempor lantaran tergolong baru. Kaidah yang dipakainya juga lebih luwes.
“Pekerjaan kaligrafer lebih untuk penulisan mushaf. Terkadang, ada yang merasa kesulitan. Lalu memilih kontemporer karena dirasa lebih bebas,” jawabnya.
Sekali lagi, disebut bebas pun, kaidah tetap harus dijaga. “Kaidah yang memuat gaya-gaya huruf itu seperti hafalan. Harus diulang-ulang. Kalau tak rajin dilatih, tulisannya bisa berubah,” lanjutnya.
Namun, mazhab apapun, bagi Aziz sama-sama memberikan kepuasan kepada pembuatnya. “Karena menuangkan nilai-nilai keagamaan melalui sebuah karya seni,” tutupnya. (at/fud)
Masih Tergantung Pada MTQ
PEGIAT khat kontemporer terus bertambah, sayangnya, ruang apresiasinya masih sempit.
Ketua Sanggar Seni Lukis dan Kaligfari (SSLK) Al Banjary, Abdul Aziz Fikri menyebutkan, sanggarnya kini mewadahi seratus anggota aktif.
Tak hanya dari kalangan mahasiswa, ada pula pelajar SMA. Jadi tak benar imej bahwa kaligrafi hanya digemari orang tua.
Namun, jumlah peminat tak sebanding dengan tempat apresiasi. Baik berupa pameran atau perlombaan.
“Saat ini masih sebatas nimbrung di acara Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ),” ungkap Aziz.
Tentu saja tidak cukup luas. “Sementara yang bisa mengikuti MTQ masih terbatas. Ada seleksi yang cukup ketat,” tambahnya.
“Padahal, bicara soal kompetisi, kaligrafer asal Kalsel termasuk yang paling diperhitungkan di ajang nasional,” lanjutnya.
Persaingan yang tak hanya muncul saat lomba MTQ. Karena sudah dibentuk sejak dini.
“Bahkan kami sesama anggota sanggar pun bersaing untuk membuat karya terbaik,” ujarnya.
MTQ adalah event rutin nasional yang digelar Kementerian Agama. Di sana, berbagai cabang dilombakan.
Sejarahnya, MTQ digagas oleh Nahdlatul Ulama (NU).Mengutip laman NU disebutkan, ide melombakan kaligrafi kontemporer itu dicetuskan pada akhir tahun 1980-an. Setelah melalui perjuangan panjang, pada 2014, tepatnya pada MTQ Nasional XXV di Batam, akhirnya kaligrafi kontemporer menjadi sebuah cabang lomba.
Pada dasarnya, selain syiar agama, kaligrafi juga memiliki nilai ekonomis.
Menurut Aziz, karya kaligrafi bisa dijual antara ratusan ribu sampai puluhan juta rupiah.
Sekali lagi, ia menuntut wadah apresiasi yang lebih banyak lagi. “Agar media dakwah dan seni ini lebih berkembang lagi,” tutupnya. (war/at/fud)