31.1 C
Banjarmasin
Monday, 20 March 2023

Mendaki Gunung, Kopi Panas Seketika Dingin

Di sela mengikuti rombongan press room Pemko Banjarmasin ke Kota Semarang, Jawa Tengah, kegiatan juga diisi dengan berwisata. Di balik dingin dan sunyinya kawasan Candi Gedong Songo, menyajikan pemandangan yang menyejukkan mata.

Oleh: WAHYU RAMADHAN, Semarang

Candi Gedong Songo berada di lereng Gunung Ungaran. Persisnya di Dusun Darum, Desa Candi, Kecamatan Bandungan. Berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut.

Gedong Songo berasal dari Bahasa Jawa yang berarti rumah atau bangunan sembilan. Disebut demikian, lantaran ada sembilan candi di kawasan tersebut. Namun belakangan, hanya tersisa lima candi yang masih utuh. Tersebar di lereng Gunung Ungaran.

010-Ramadhan-favehotel-Banjarbaru-Event-Ads

Dari hotel tempat saya menginap, menuju lokasi Candi Gedong Songo membutuhkan waktu sekitar lebih dari satu jam. Menuju ke sana, saya menumpang bus pariwisata yang disewa rombongan Pemko Banjarmasin.

Dari ruas jalan protokol di pusat perkotaan, bus membawa saya melaju melintasi ruas Jalan Tol Tembalang-Ungaran. Di sepanjang perjalanan pada Selasa (28/2) itu, terik hanya sesekali. Di kejauhan, awan mendung tampak selalu menutupi pucuk Gunung Ungaran.

Satu jam di perjalanan, saya tiba di Terminal Palbapang. Bus yang mengantar pelancong, hanya diperbolehkan sampai di terminal ini.

Untuk menuju salah satu objek wisata kebanggaan Provinsi Jawa Tengah itu, saya harus menumpang ojek, atau menumpang taksi colt. Menumpang taksi colt, dipatok Rp25 ribu per penumpang. Itu sudah pergi-pulang alias PP. Saya beserta rombongan, memilih menaiki taksi.

“Sekitar 3 km lagi, sampai ke candi,” ungkap M Gufron. Ia petugas dari Dinas Perhubungan setempat yang saya bincangi sebelum menaiki taksi.

Sopir taksi colt yang membawa saya namanya Wahyu. Nama saya juga Wahyu. Wahyu bertemu Wahyu. Rambutnya disemir merah. Orangnya murah senyum.

Ia tampak menelisik penampilan saya yang hanya mengenakan kaos oblong, celana panjang berbahan kain, dan sepatu kets. “Mengapa tidak pakai jaket, Mas? Dingin lho di sana (kawasan candi, red),” ujarnya.

Saya hanya bisa tersenyum pasrah. Lalu bilang, tak apa-apa. Sementara rekan sesama wartawan, hanya bisa cekikikan.

Dingin memang sudah sangat terasa. Persis ketika saya turun dari bus. Tapi, apa boleh buat. Jaket tertinggal di Banjarmasin. Lupa dimasukkan ke dalam tas.

Saya dan rombongan akhirnya masuk ke dalam taksi. Jalanan menuju kawasan wisata Candi Gedong Songo lebih banyak meliuk, menanjak, meliuk menanjak. Hanya sedikit jalan yang datar.

Di sisi kiri dan kanan jalan pemandangan beralih rupa. Dari yang semula permukiman, menjadi banyaknya pepohonan. Khas lereng pegunungan. Mengasyikkan.

Kurang dari setengah jam, kami tiba di pintu gerbang wisata. Di sini, taksi atau mobil-mobil kecil diparkir. Untuk menuju candi, Anda harus mendaki.

Lagi-lagi, ketika menginjakkan kaki ke luar dari taksi, angin berembus kencang. Suhunya juga dingin sekali.

Baca Juga :  BPK Sentil Anggaran Perjalanan Dinas, Juga Satuan Harga Honor dan Kegiatan
HIJAU: Salah satu akses jalan yang dilalui menuju kawasan Candi Gedong Songo. | Foto: Wahyu Ramadhan/Radar Banjarmasin

Tiket masuknya wisata candi cukup terjangkau. Hanya Rp10 ribu untuk satu orang wisatawan lokal. Khusus wisatawan mancanegara, Rp85 ribu.

Tak jauh dari pintu masuk, atau berjarak sekitar 200 meter, Anda sudah bisa melihat Candi Gedong Songo I.

Ini sebuah bangunan candi utuh. Bentuknya persegi panjang. Tingginya sekitar 4 hingga 5 meter. Ada tangga kecil dan seperti pintu masuk. Sekeliling candi ini dihiasi dengan pahatan relief bunga.

Lalu, mana empat candi lainnya? Anda harus naik ke atas lagi. Mendaki dan menyisir jalan di lereng gunung yang meliuk-liuk. Alas jalanan adalah bebatuan.

Menuju masing-masing lolasi candi bisa ditempuh dengan dua cara. Mendaki dengan kaki, atau menyewa transportasi kuda. Biaya sewa beragam. Tergantung sampai mana Anda ingin diantar. Paling murah menuju candi terdekat yakni Candi Gedong I. Untuk wisatawan lokal, biaya yang dipatok Rp50 ribu.

Biaya sewa kuda juga tergantung berat badan. Bagi yang berat badannya lebih dari 100 kilogram, ada biaya tambahan dan persetujuan.

Saya yang penasaran dan niat ingin sedikit berolahraga, jelas memilih berjalan kaki. Dari candi pertama menuju candi kedua, berjejer warung-warung makanan dan minuman. Tapi sepanjang yang saya lalui, hanya satu warung saja buka.

Di pinggir jalan yang dilalui, ada pagar pembatas. Di baliknya terhampar pemandangan alam yang indah. Ada banyak pepohonan pinus. Siang itu, kawasan tersebut dirundung mendung. Angin berembus kencang. Saya yang berjalan pelan pun terhuyung-huyung.

Sepanjang perjalanan, kabut tipis turun dari atas gunung. Kemunculannya kerap membuat pemandangan di kejauhan tak lagi tampak. Sesekali, kabut juga menutupi Candi Gedong Songo II dan III yang saya kunjungi. Butuh sedikit waktu menunggu agar candi bisa terlihat utuh. Ditambah lagi suhu dinginnya yang menusuk-nusuk tubuh, hingga membuat saya enggan menyentuh permukaan air.

MENGEPUL: Asap belerang di dekat lokasi pemandian air panas di sisi jalan menuju Candi Gedong Songo IV dan V. | Foto: Wahyu Ramadhan/Radar Banjarmasin

Sebelum menuju Candi Gedong IV, ada sumber air panas. Bau belerangnya cukup kuat. Kepulan asapnya juga mengepul tebal. Tak jauh dari situ, ada tempat pemandian. Sayangnya, tempat pemandian itu tampak masih tutup.

Seperti halnya Candi Gedong Songo II dan III, di kejauhan Candi Gedong IV juga tampak tertutup kabut. Syukurnya, ketika didekati, kabut itu perlahan menghilang. Saya pun bisa melihat jelas candi keempat ini.

Di tanah lapang itu, ada banyak bangunan. Namun hanya satu yang masih utuh. Sisanya, hanya berupa tumpukan-tumpukan bata. Yang bila dihitung, tumpukan itu setidaknya berjumlah lebih dari tujuh.

Mendaki lebih ke atas, saya pun sampai di dekat lokasi Candi Gedong V. Di sinilah, tempat yang dipercaya sebagai puncak akhir kawasan Candi Gedong Songo.

Sebelum mendatangi candi kelima itu, saya mampir ke sebuah warung yang satu-satunya buka di situ. Pemiliknya, Ibu Tiah. Dia warga Dusun Darum. Ia bilang, lantaran sedang sering hujan, kabutnya menjadi tebal. Pemandangan pun jadi kurang memuaskan dilihat. “Kalalu enggak kabut, bagus banget pemandangannya,” ujarnya.

Baca Juga :  Memanjat Duri, Mencari Pemimpin

Angin berembus kencang. Saya pun memilih memesan secangkir kopi hitam panas. Ketika tersaji, Tiah tampak tersenyum melihat saya meniup-niup uap panas yang membumbung di atas cangkir. “Jangan ditiup, Mas. Tak begitu panas kok. Di sini sudah dingin,” ujarnya, terkekeh.

Benar, tak perlu ditiup. Kopi yang semula saya rasa panas, jadi tiba-tiba hangat dan bisa langsung disesap.

Kondisi kawasan sekitar yang saya datangi tampak sepi. Sedari awal saya naik, saya hanya berpapasan dengan dua atau tiga orang saja.

Tiah menjelaskan bukan musim penghujan yang membuat kawasan candi sepi. Tapi, lantaran pandemi Covid-19. “Semenjak corona sepi. Padahal, pemandangannya bagus, jualan murah, tiket masuknya juga murah. Berkemah di lapangan ini pun bisa,” tutur Tiah. Pemandangan kawasan itu memang begitu indah. Bersih dan menenangkan.

Ketika saya tiba di Candi Gedong Songo V, lebih luas di antara lokasi candi lainnya. Rasa-rasanya lebih luas dari lapangan futsal.

Mengutip laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke 7 hingga 9 Masehi. Saat di masa Kerajaan Mataram Lama.

Keberadaan candi ini pertama kali terungkap oleh seseorang bernama Loten di tahun 1740. Kemudian oleh Th Stamford Raffles, pada bukunya yang berjudul The History of Java pada tahun 1817 dicatat sebagai Gedong Pitoe karena memiliki tujuh kelompok bangunan.

Beberapa penelitian juga dilakukan antara lain oleh Van Stein Callenfels di tahun 1908 Masehi dan Knebel 1911 Masehi. Keduanya adalah arkeolog asal Belanda. Dari hasil penelitian, ditemukan dua kelompok candi lain. Sejak saat itu, nama Gedong Pitoe menjadi Gedong Songo.

PUNCAK: Candi Gedong Songo V dan pemandangan yang ditutupi kabut. | Foto: Wahyu Ramadhan/Radar Banjarmasin

Lalu, mengapa dibangun berderet dari bawah hingga puncak perbukitan di lereng Gunung Ungaran? Masih berdasarkan keterangan yang ada di laman Kemendikbud RI, karakter Candi Gedong Songo sangat spesifik. Sebuah perpaduan antara dua religi yang bersifat lokal dan global. Sejak dahulu, nenek moyang percaya bahwa gunung adalah tempat persembahan kepada roh leluhur. Kepercayaan ini merupakan tradisi masyarakat lokal pra Hindu.

Kebudayaan Hindu memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaan secara global hampir di separuh dunia. Sehingga kepercayaan mengkultuskan gunung sebagai tempat tinggal para dewa, juga dipercayai oleh para penganut agama Hindu pada masa itu.

Waktu menunjukkan pukul 14.00 WIB, cuaca masih saja mendung. Angin yang berkali-kali menerjang tubuh saya, rasanya sudah cukup membuat saya bergidik kedinginan.

Sebelum turun, saya kembali mampir ke warung Tiah. Perempuan 47 tahun itu kembali tersenyum melihat saya mengusap-usap lengan lantaran kedinginan. “Lain kali, datanglah ke sini lagi. Jangan lupa pakai jaket,” pesan Tiah. Kami pun sama-sama terkekeh.(az/dye)

Padi yang Mendekati Panen, Layaknya Menyambut Anak Pulang dari Perantauan

PADI yang mendekati panen, diperlakukan layaknya anak yang akan datang dari perantauan. Kedatangannya dinanti-nantikan.

Temui Kami di Medsos:

Terpopuler

Berita Terbaru