Pada 21 Oktober 1926 di Surabaya, muktamar Nahdlatul Ulama pertama memilih Kiai Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar. Sang murid yang berasal dari Martapura, Kiai Abdul Qadir Hasan turut menyaksikan peristiwa bersejarah itu.
****
MARTAPURA – Kiai Abdul Qadir Hasan berada di Tebuireng, Jombang untuk berguru kepada Hadratussyaikh (gelar Kiai Hasyim Asy’ari).
Saat muktamar digelar, umurnya baru 35 tahun. Kiai Qadir diberikan kepercayaan untuk mendirikan cabang NU pertama di luar Pulau Jawa.

Dua tahun berselang, pada 1928, Kiai Qadir mendirikan NU di tanah kelahirannya–Martapura.
Nama Abdul Qadir Hasan mungkin kurang familiar. Sebab oleh masyarakat Kabupaten Banjar beliau lebih dikenal dengan panggilan Guru Tuha.
Di Darussalam, pondok pesantren tertua di Kalimantan, Guru Tuha sangat dihormati.
Dialah pemimpin ponpes generasi keempat. Memimpin Darussalam pada periode 1940-1959. Sesudah ditinggal para pendahulunya Kiai Kasyful Anwar, Kiai Hasan Ahmad dan Tuan Guru Djamaluddin.
Guru Tuha wafat pada 11 Rajab 1398 Hijriah atau 17 Juni 1978 Masehi pada umur 87 tahun. Dimakamkan di Pasayangan Utara, dekat Masjid Agung Al-Karomah.
Ahad (5/2), Radar Banjarmasin berziarah ke makam Guru Tuha. Bertemu dengan buyutnya, Ustaz Zayadi.
Diceritakannya, kubah Guru Tuha makin ramai diziarahi menjelang harlah NU. Peziarah kebanyakan warga Nahdliyin dan alumni Darussalam. “Banyak yang datang dari Kaltim dan Kalteng,” ujar Zayadi.
Guru Tuha memang lebih dikenal sebagai pimpinan Darussalam dan pembawa NU ke Kalsel. Padahal masih ada satu lagi peran Guru Tuha yang jarang diungkit.
“Beliau adalah sepuh gerakan gerilya di Kalimantan pada masa revolusi,” sebutnya.
Guru Tuha melecut semangat jihad para pejuang untuk mengusir tentara Belanda yang mendompleng NICA. Setelah proklamasi, masih ada keinginan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia.
Ada sebuah cerita. Suatu hari, Guru Tuha pulang ke rumah pada tengah malam. Melihat pemandangan yang tak lazim itu, Gusti Surya Rum, tata usaha ponpes, menanyakan beliau dari mana saja.
“Guru Tuha menjawab, kalau beliau baru datang dari medan perang. Jadi ternyata beliau kalau siang hari mengajar di pondok, malamnya pergi berperang,” ceritanya.
Perihal keilmuan, pada usia belasan tahun, Guru Tuha mengaji tauhid, tajwid, dan fikih dengan Kiai Abdurrahman (Guru Adu) di Tunggul Irang.
Beranjak dewasa, ayahnya Kiai Hasan mengirim putranya ke Tebuireng, Jombang untuk belajar dengan Kiai Hasyim Asy’ari. Guru Tuha juga sempat belajar dengan Kiai Kholil Bangkalan, Madura.
“Sepulang dari Jawa, beliau diangkat murid oleh Kiai Kasyful Anwar. Menjadi tangan kanan beliau,” ujarnya.
Setelah mendirikan NU, Guru Tuha menjabat Rais Syuriah NU Kalsel. Dengan katib (sekretaris) adalah Tuan Guru Husin bin Syekh Ali Al-Banjari. Kantor sekretariatnya berada di Darussalam atas seizin pengurus ponpes.
Dari Darussalam, NU menyebar. Cabang lain berdiri, seperti di Banjarmasin.
Zayadi menambahkan, Guru Tuha terkadang berbulan-bulan melawat ke Hulu Sungai untuk mengenalkan NU. “Beliau menyebarkan NU di sana sambil berdagang intan,” kata pria 32 tahun tersebut.
Di samping mengajar dan mengurusi NU, Guru Tuha juga menulis beberapa kitab. Salah satunya Mir’atut Thullab. “Orang tahunya beliau ulama sakti, padahal beliau seorang penulis,” tegasnya.
Kitab ini membahas tentang sopan santun. Oleh ahli waris, isinya diperbarui. “Kami beri terjemahan Indonesia, tapi khusus untuk kalangan keluarga,” tutup Ustaz Zayadi.
Salah seorang peziarah dari Banjarmasin, Haji Pepe mengaku mengagumi Guru Tuha.
“Beliau terkenal tegas, pemberani dan cerdas,” ujarnya. Dia rutin berziarah ke sini untuk mendoakan Guru Tuha.
NU Berutang Banyak Pada Darussalam
VERSI lain menyebutkan, NU berdiri di Martapura pada 1927. Bukan tahun 1928. Atau hanya setahun berselang setelah muktamar di Surabaya.
Kepingan informasi ini diperoleh Radar Banjarmasin dari Mansyur, sejarawan muda Universitas Lambung Mangkurat.
Diceritakannya, pendirian NU disponsori oleh pimpinan Pondok Pesantren Darussalam, Kiai Kasyful Anwar.
“Sebagai bentuk dukungan, salah satu ruangan madrasah diserahkan menjadi kantor sementara NU,” kata dosen FKIP itu.
Mengacu ke beberapa sumber, Mansyur mengatakan, Kiai Abdul Qadir Hasan tak hanya mengaji ke Bangkalan dan Jombang.
Guru Tuha juga sempat belajar di Madrasah Al-Shaulatiyah. Itu madrasah tradisional legendaris di Makkah, Arab Saudi.
Menjelang kemerdekaan Indonesia, Guru Tuha dipercaya memimpin Darussalam.
Pada masanya memimpin, Darussalam menggunakan sistem tingkat yang disebut ‘tahdiri’. Pembagiannya, tiga tahun untuk jenjang ibtidaiyah dan tiga tahun untuk jenjang tsanawiyah.
Pengaruh Guru Tuha membuat Darussalam menjadi basis utama pendukung NU.
“Bahkan, madrasah yang semula dibangun oleh Sarekat Islam pada 1914 tersebut, berubah menjadi madrasah NU sejak persyarikatan ulama ini berdiri di Martapura,” ungkap Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan itu.
Intinya, NU “berutang” banyak kepada Darussalam. “Dari sini NU berkembang pesat di Kalsel dengan basis utama di daerah-daerah pedesaan,” ujarnya.
Buktinya, hanya dalam kurun waktu 14 tahun, jumlah anggota NU sudah mencapai dua ribu.
“Angka itu berdasarkan laporan utusan NU cabang Martapura dalam Musyawarah Kerja I Partai NU se-Borneo (Kalimantan) di Banjarmasin pada tahun 1953,” sebutnya.
Jangan lupakan faktor lain. Yakni ideologi Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) yang diusung NU, cocok dengan pandangan agama orang Banjar.
Sejak didirikan Guru Tuha di Martapura, NU menyebar ke berbagai daerah di Kalsel. Cabang di Banjarmasin berdiri pada 1931. “Tokoh-tokohnya antara lain Said Ali Alkaf, Haji Akhmad Nawawi dan Haji Hasyim,” sebut Mansyur.
Lalu tahun 1932, NU terbentuk di Pelaihari. Disusul Majelis Konsul Wilayah NU di Barabai. Selanjutnya, cabang NU berdiri di Negara sekitar tahun 1935.
Harus diingat, NU pernah menjadi sebuah partai politik. Guru Tuha pun pernah menjabat Anggota DPRD Tingkat I Kalsel periode 1960-1970.
“Guru Tuha juga pernah menjadi anggota Syuriah Pengurus Besar NU,” pungkas Mansyur. (ris/mof/gr/fud)